Ada yang mengucapkan “silaturahmi”
atau ada juga yang mengatakan “silturrahim”. Akan tetapi apapun bentuk ucapan
dan tata bahasanya, maka secara umum ketika
kata-kata tersebut diucapkan seseorang, hal itu sudah pasti bermakna dan
bertujuan untuk menjelaskan perihal hubungan kekeluargaan atau hubungan kasih
sayang antara seseorang dengan yang lainnya.
Silaturahmi atau silaturahim adalah
salah satu “akhlak” yang utama bagi orang-orang yang beriman. Hal ini tercermin
dalam Firman Allah SWT:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah
kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan
daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisaa’: 1)
Sementara itu dalam sebuah Hadis Qudsi
Allah SWT berfirman:
“Aku adalah Ar-Rahman. telah Aku
ciptakan Ar-Rahiim dan Aku petikkan baginya nama dari nama-Ku. Barangsiapa yang
menghubungkannya niscaya Aku menghubunginya (dengan rahmat-Ku); dan barangsiapa
memutuskannya niscaya Aku memutuskan hubungan-Ku dengannya; dan barangsiapa
mengokohkannya niscaya Aku mengokohkan pula hubungan-Ku dengannya. Sesungguhnya
Rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku.”
(HQR. Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan
Baihaqi yang bersumber dari Ibnu 'Auf r.a)
Begitu penting dan utamanya silaturahmi
atau silaturahim tersebut, maka Allah SWT langsung melaknat orang-orang yang
memutuskannya. Allah SWT berfirman:
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa
kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?
// Mereka itulah orang-orang yang dilaknati
Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.”
(QS.Muhammad: 22-23)
Sedangkan dalam hadis beliau Rasulullah
SAW bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan
kekeluargaan.” (HR.Mutafaq ‘alaiji dari Jubair bin Muth’im r.a)
Kalaupun ada masalah yang mengganggu
hubungan kekeluargaan atau silaturahmi tersebut, maka mereka hanya
diperkenankan untuk saling berdiam diri atau tidak saling sapa selama 3(tiga)
hari; lebih dari itu hukumnya adalah haram /berdosa. Hal ini ditegaskan oleh
Rasulullah SAW dalam hadis beliau: “Tidak halal seorang
muslim mendiamkan (tidak mau menyapa) saudaranya lebih dari tiga malam di mana
keduanya bertemu lalu yang ini berpaling dan yang itu berpaling; Dan yang
terbaik di antara keduanya ialah orang yang memulai mengucapkan salam.” (HR.Muslim
dari Aabu Hurairah r.a)
Menurut Syaikh Abdullah Al-Ghazali
waktu 3(tiga) hari yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW itu sudah dianggap cukup
bagi mereka yang berselisih, untuk saling instropeksi diri dan mendinginkan
suasana hati dari kemarahan yang dimiliki.
Dijelaskan bahwa berdasarkan latar
belakang hubungan yang terjalin, maka setidak-tidaknya ada 3(tiga) bentuk “silaturahmi”
atau “silaturahim” yang patut dijaga atau dipelihara:
PERTAMA: Silaturahmi atau
silaturahim yang terjalin atas dasar iman sebagaimana yang ditegaskan Allah SWT
dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah
bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada
Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujuraat: 10)
Al-Ghazali menyatakan, bahwa dengan
firman Allah SWT di atas; maka jelas sekali terlihat adanya larangan untuk
“memutuskan” silaturahmi atau silaturahim antara sesama. Dan melalui firman
Allah SWT tersebut juga terlihat adanya kewajiban bagi setiap orang yang
beriman untuk ikut berperan memperbaiki dan menjalin kembali hubungan antar
sesama yang “terganggu” atau “rusak” oleh satu dan lain hal. Bahkan bagi
kepentingan yang satu ini; seseorang diperkenankan untuk “berbohong” atau
“berdusta” sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
"Saya tidak pernah mendengar
Rasulullah s.a.w. meringankan dalam segala sesuatu yang diucapkan oleh para
manusia itu, yakni berdusta, melainkan dalam tiga keadaan, yaitu dalam
peperangan; dalam hal mengislahkan (medamaikan/memperbaiki
hubungan) antara sesama manusia; dan ucapan seorang suami terhadap isterinya
atau seorang isteri terhadap suaminya, yang masing-masing itu bertujuan untuk
kemaslahatan keluarga." (HR. Muslim dari Ummu Kultsum r.a)
KEDUA: Silaturahmi atau silaturahim
yang terjalin berdasarkan hubungan darah / garis keturunan yang ada, sekalipun
di antara mereka ada perbedaan aqidah/keyakinan sebagaimana yang tersirat dan
tersurat dalam Firman Allah SWT:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-KU dan kepada dua orang
ibu bapakmu, hanya kepada-KU lah kembalimu. // Dan jika keduanya memaksamu
untuk mempersekutukan dengan AKU sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang
itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-KU, kemudian hanya
kepada-KU lah kembalimu, maka KU-beritakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan." (QS. Luqman: 14-15)
KETIGA: Silaturahmi atau silaurahim
yang terjalin karena adanya pernikahan.
Pada hakikatnya pernikahan antara
seorang laki-laki dan perempuan adalah untuk lebih mempererat silturahmi atau silaturahim;
baik yang berkaitan dengan hubungan yang dilakukan atas dasar keimanan maupun
yang berkaitan dengan hubungan darah atau keturunan. Hanya saja banyak di
antara kita yang tidak menyadari hal ini. Sehingga pada akhirnya yang terjadi
bukannya hubungan yang erat; malah sebaliknya yang terjadi adalah retaknya atau
bisa jadi putusnya hubungan kekeluargaan (silaturahmi atau silaturahim) yang
telah terjalin sebelumnya. Apalagi jika memang pernikahan tersebut tidak
mendapat restu dari salah satu pihak (atau kedua belah pihak). Padahal
pernikahan itu sendiri adalah bagian dari takdir atau jodoh yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT, hanya saja barangkali akal sehat kita tidak bisa
menerima lantaran adanya “gesekan nafsu diri” yang memandang “kajian akal” lebih
benar dari “takdir” yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Dalam hal-hal semacam
ini ada baiknya kita kembali kepada apa yang telah ditegaskan Allah SWT:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 216)
Seharusnya dalam satu ikatan pernikahan
kita bisa lebih fleksibel dalam memandang dan menyikapi persoalan dan perbedaan
yang ada dengan tujuan, untuk memelihara hubungan silaturahmi/silaturahim yang
sangat-sangat diwanti oleh Allah SWT untuk menjaga dan memeliharanya. Dalam hal
ini sebagai salah satu contoh adalah sebagaimana yang banyak dikisahkan; Bahwa
hanya karena ta’at dan tidak adanya izin suaminya, seorang isteri terpaksa
harus tetap tinggal di rumah tatkala
orang tua (ayah)nya sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Sementara sang
suami ketika itu sedang berada di tempat jauh. Oleh sebab itu demi menjaga
silaturahim/silaturahmi yang telah terjalin; ada baiknya di awal-awal
pernikahan disepakati hal-hal yang berkaitan dengan masalah tersebut; selama
tidak melanggar masalah-masalah syari’at yang sangat prinsip; Baik yang
bersifat moral maupun material.
Seorang suami memang berhak atas
isterinya dan seorang isteri juga memiliki hak dan kewajiban atas diri
suaminya; akan tetapi janganlah hak dan kewajiban itu sampai merusak apalagi
memutuskan tali silaturahmi/silaturahim yang telah dibina melalui pernikahan.
Atau dengan kata lain; jangan menjadi zalim lantaran adanya hak dan kewajiban
tersebut, yang mengantarkan kita kepada laknat Allah SWT sebagaimana yang
tersirat dan tersurat dalam Al-Qur’an Surah Muhammad ayat 22-23 yang telah
dipetikkan di atas.
Mudah-mudahan tulisan yang ringkas ini
dapat menambah pengetahuan dan pemahaman kita tentang makna dan tujuan
silaturahmi atau silturahim yang selalu kita kumandangkan. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 23 Syawal 1434 H / 30
Agustus 2013
KH.Bachtiar Ahmad