SEGENAP KELUARGA BESAR HARIS SUROTO SGL Mengucapkan * SELAMAT TAHUN BARU ISLAM 1440 HIJRIAH - TAQOBALALLAHU MINNA WAMINKUM SIAMANNA WASIAMAKUM - MINAL AIDIN WAL FAIDZIN - Mohon Maaf Lahir dan Batin *

Jumat, 30 Agustus 2013

MAKNA KALIMAT SILATURAHMI ATAU SILATURRAHIM

Ada yang mengucapkan “silaturahmi” atau ada juga yang mengatakan “silturrahim”. Akan tetapi apapun bentuk ucapan dan tata bahasanya, maka secara umum  ketika kata-kata tersebut diucapkan seseorang, hal itu sudah pasti bermakna dan bertujuan untuk menjelaskan perihal hubungan kekeluargaan atau hubungan kasih sayang antara seseorang dengan yang lainnya.
Silaturahmi atau silaturahim adalah salah satu “akhlak” yang utama bagi orang-orang yang beriman. Hal ini tercermin dalam Firman Allah SWT:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.(QS. An-Nisaa’: 1)
Sementara itu dalam sebuah Hadis Qudsi Allah SWT berfirman:
Aku adalah Ar-Rahman. telah Aku ciptakan Ar-Rahiim dan Aku petikkan baginya nama dari nama-Ku. Barangsiapa yang menghubungkannya niscaya Aku menghubunginya (dengan rahmat-Ku); dan barangsiapa memutuskannya niscaya Aku memutuskan hubungan-Ku dengannya; dan barangsiapa mengokohkannya niscaya Aku mengokohkan pula hubungan-Ku dengannya. Sesungguhnya Rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku.  (HQR. Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan Baihaqi yang bersumber dari Ibnu 'Auf r.a)
Begitu penting dan utamanya silaturahmi atau silaturahim tersebut, maka Allah SWT langsung melaknat orang-orang yang memutuskannya. Allah SWT berfirman:
Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? //  Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.(QS.Muhammad: 22-23)
Sedangkan dalam hadis beliau Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan.(HR.Mutafaq ‘alaiji dari Jubair bin Muth’im r.a)
Kalaupun ada masalah yang mengganggu hubungan kekeluargaan atau silaturahmi tersebut, maka mereka hanya diperkenankan untuk saling berdiam diri atau tidak saling sapa selama 3(tiga) hari; lebih dari itu hukumnya adalah haram /berdosa. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadis beliau: “Tidak halal seorang muslim mendiamkan (tidak mau menyapa) saudaranya lebih dari tiga malam di mana keduanya bertemu lalu yang ini berpaling dan yang itu berpaling; Dan yang terbaik di antara keduanya ialah orang yang memulai mengucapkan salam.(HR.Muslim dari Aabu Hurairah r.a)
Menurut Syaikh Abdullah Al-Ghazali waktu 3(tiga) hari yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW itu sudah dianggap cukup bagi mereka yang berselisih, untuk saling instropeksi diri dan mendinginkan suasana hati dari kemarahan yang dimiliki. 
Dijelaskan bahwa berdasarkan latar belakang hubungan yang terjalin, maka setidak-tidaknya ada 3(tiga) bentuk “silaturahmi” atau “silaturahim” yang patut dijaga atau dipelihara:
PERTAMA: Silaturahmi atau silaturahim yang terjalin atas dasar iman sebagaimana yang ditegaskan Allah SWT dengan firman-Nya: 
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujuraat: 10)
Al-Ghazali menyatakan, bahwa dengan firman Allah SWT di atas; maka jelas sekali terlihat adanya larangan untuk “memutuskan” silaturahmi atau silaturahim antara sesama. Dan melalui firman Allah SWT tersebut juga terlihat adanya kewajiban bagi setiap orang yang beriman untuk ikut berperan memperbaiki dan menjalin kembali hubungan antar sesama yang “terganggu” atau “rusak” oleh satu dan lain hal. Bahkan bagi kepentingan yang satu ini; seseorang diperkenankan untuk “berbohong” atau “berdusta” sebagaimana sabda Rasulullah SAW: 
"Saya tidak pernah mendengar Rasulullah s.a.w. meringankan dalam segala sesuatu yang diucapkan oleh para manusia itu, yakni berdusta, melainkan dalam tiga keadaan, yaitu dalam peperangan; dalam hal  mengislahkan (medamaikan/memperbaiki hubungan) antara sesama manusia; dan ucapan seorang suami terhadap isterinya atau seorang isteri terhadap suaminya, yang masing-masing itu bertujuan untuk kemaslahatan keluarga." (HR. Muslim dari Ummu Kultsum r.a)
KEDUA: Silaturahmi atau silaturahim yang terjalin berdasarkan hubungan darah / garis keturunan yang ada, sekalipun di antara mereka ada perbedaan aqidah/keyakinan sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam Firman Allah SWT:
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.  Bersyukurlah kepada-KU dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-KU lah kembalimu. // Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan AKU sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-KU, kemudian hanya kepada-KU lah kembalimu, maka KU-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. Luqman: 14-15)
KETIGA: Silaturahmi atau silaurahim yang terjalin karena adanya pernikahan.
Pada hakikatnya pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan adalah untuk lebih mempererat silturahmi atau silaturahim; baik yang berkaitan dengan hubungan yang dilakukan atas dasar keimanan maupun yang berkaitan dengan hubungan darah atau keturunan. Hanya saja banyak di antara kita yang tidak menyadari hal ini. Sehingga pada akhirnya yang terjadi bukannya hubungan yang erat; malah sebaliknya yang terjadi adalah retaknya atau bisa jadi putusnya hubungan kekeluargaan (silaturahmi atau silaturahim) yang telah terjalin sebelumnya. Apalagi jika memang pernikahan tersebut tidak mendapat restu dari salah satu pihak (atau kedua belah pihak). Padahal pernikahan itu sendiri adalah bagian dari takdir atau jodoh yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, hanya saja barangkali akal sehat kita tidak bisa menerima lantaran adanya “gesekan nafsu diri” yang memandang “kajian akal” lebih benar dari “takdir” yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Dalam hal-hal semacam ini ada baiknya kita kembali kepada apa yang telah ditegaskan Allah SWT:
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.(QS. Al-Baqarah: 216)
Seharusnya dalam satu ikatan pernikahan kita bisa lebih fleksibel dalam memandang dan menyikapi persoalan dan perbedaan yang ada dengan tujuan, untuk memelihara hubungan silaturahmi/silaturahim yang sangat-sangat diwanti oleh Allah SWT untuk menjaga dan memeliharanya. Dalam hal ini sebagai salah satu contoh adalah sebagaimana yang banyak dikisahkan; Bahwa hanya karena ta’at dan tidak adanya izin suaminya, seorang isteri terpaksa harus tetap tinggal  di rumah tatkala orang tua (ayah)nya sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Sementara sang suami ketika itu sedang berada di tempat jauh. Oleh sebab itu demi menjaga silaturahim/silaturahmi yang telah terjalin; ada baiknya di awal-awal pernikahan disepakati hal-hal yang berkaitan dengan masalah tersebut; selama tidak melanggar masalah-masalah syari’at yang sangat prinsip; Baik yang bersifat moral maupun material. 
Seorang suami memang berhak atas isterinya dan seorang isteri juga memiliki hak dan kewajiban atas diri suaminya; akan tetapi janganlah hak dan kewajiban itu sampai merusak apalagi memutuskan tali silaturahmi/silaturahim yang telah dibina melalui pernikahan. Atau dengan kata lain; jangan menjadi zalim lantaran adanya hak dan kewajiban tersebut, yang mengantarkan kita kepada laknat Allah SWT sebagaimana yang tersirat dan tersurat dalam Al-Qur’an Surah Muhammad ayat 22-23 yang telah dipetikkan di atas.
Mudah-mudahan tulisan yang ringkas ini dapat menambah pengetahuan dan pemahaman kita tentang makna dan tujuan silaturahmi atau silturahim yang selalu kita kumandangkan. Wallahua’lam.
Bagansiapiapi, 23 Syawal 1434 H / 30 Agustus 2013
KH.Bachtiar Ahmad