“Barangsiapa yang memiliki kelapangan, sedangkan ia tidak berkurban,
janganlah dekat-dekat musholla kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan
al-Hakim, namun hadits ini mauquf)
Tingginya kedudukan sunnah
ini sehingga Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak pernah
meninggalkannya setelah disayariatkannya. Yakni selama sepuluh tahun
sesudah beliau tinggal di Madinah.
“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam selama sepuluh tahun tinggal
di Madinah, beliau selalu menyembelih kurban.” (HR. Ahmad dan
al-Tirmidzi, sanadnya hasan)
Dari sikap beliau ini sebagian
ulama mengistimbatkan bahwa hukum berkurban itu wajib. Namun menurut
penulis Tuhfah al-Ahwadzi, “Hanya semata Muwadhabah (senantiasa)-nya
Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengerjakanya tidak lantas menjadi dalil
wajibnya.” Ini sesuai judul bab yang dibuat Imam al-Tirmidzi, “Bab:
Dalil bahwa berkorban adalah sunnah.”
Imam Al-Tirmidzi
menguatkan pendapatnya dalam bab yang disusunnya di atas dengan hadits
dari Jabalah bin Suhaim, ada seseorang yang bertanya kepada Ibnu Umar
tentang udhiyah (berkurban), apakah ia wajib? Kemudian beliau menjawab:
“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan kaum muslimin (para sahabatnya) berkurban.“
Terlepas dari perpedaan pendapat ulama tentang wajib atau sunnahnya,
jelasnya bahwa berkurban ini sunnah yang sangat agung. Siapa yang
memiliki kemampuan kemudian dia berkurban maka ini keputusan yang paling
tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar