SEGENAP KELUARGA BESAR HARIS SUROTO SGL Mengucapkan * SELAMAT TAHUN BARU ISLAM 1440 HIJRIAH - TAQOBALALLAHU MINNA WAMINKUM SIAMANNA WASIAMAKUM - MINAL AIDIN WAL FAIDZIN - Mohon Maaf Lahir dan Batin *

Senin, 25 April 2016

AMALAN JARIYAH


Amal Jariyah. Berbicara tentang amal jariyah tentu kita sudah sangat familiar dengan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut:

"Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan,dan doa anak yang shalih."

Sebelum berbicara lebih dalam, kita lihat sebentar mengenai definisi Amal Jariyah. Amal jariah dalam bahasa Arab berarti amal yang mengalir. Definisinya adalah, perbuatan baik yang mendatangkan pahala bagi yang melakukannya, meskipun ia telah berada di akhirat. Pahala dari amal perbuatan tersebut terus mengalir kepadanya selama orang yang hidup mengikuti atau memanfaatkan hasil amal perbuatannya ketika di dunia. Di sinilah kelebihan amal jariah dibanding amal-amal lain yang hanya diberi balasan sekali dalam satu perbuatan.


Kata ‘amal’ dapat diterapkan pada semua perbuatan lahiriah, seperti melaksanakan shalat, membayar zakat,menunaikan ibadah haji, dan kegiatan-kegiatan sosial. Dapat juga diterapkan pada perbuatan batiniah, seperti niat, beriman kepada Allah SWT, bersabar menahan penderitaan, tabah menghadapi ujian, dan sebagainya. Berdiam diri tidak melaksanakan perbuatan yang dilarang Allah SWT juga dapat disebut amal. Kata ” jariyah” diibaratkan dengan air yang secara terus-menerus mengalir dari sumbernya tanpa habis-habisnya.

Jika kita sudah sangat familiar dengan hadist diatas, ternyata masih terdapat hadist lain yang menerangkan bahwa Rasullulah SAW menambahkan tiga amalan yang termasuk ke dalam amal jariyah. Mari kita lihat hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah berikut:

"Sesungguhnya, amal dan kebaikan yang terus menerus mengiringi seseorang ketika meninggal dunia adalah ilmu yang bermanfaat, anak yang dididik agar menjadi orang shalih, mewakafkan al Qur'an, membangun masjid, membangun tempat penginapan bagi para musafir, membuat irigasi, dan bersedekah"

Dengan adanya hadist tersebut, peluang kita untuk beramal lebih banyak. Investasi akheratpun makin terbuka lebar.
Kali ini akan mencoba lebih detail memaparkan amalan-amalan apa saja yang masuk dalam kategori amal jariyah.

1. Mengamalkan Ilmu

Sebelum kita berada dalam tahap mengamalkan ilmu, tentu terdapat sebuah tahapan mencari/ menuntut ilmu yang pahalanya dijamin tidak kalah memuaskan bagi para pelakunya, seperti dikutip dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim berikut:

Barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga,” (HR Muslim)

Setelah kita benar-benar memahami suatu ilmu, barulah kita dapat mengamalkan dan kemudian menyebarkan ilmu tersebut. 

Dengan mengamalkan, ilmu akan selalu terjaga dan terlestarikan. Bahkan dengan mengamalkan ilmi kita akan semakin mahir dalam bidang yang kita geluti. Bahkan Abdul Wahid bin Zaid, sebagaiman dikutip oleh Abu Umar Abdillah dengan implisit menjelaskan bahwa, "Barang siapa yang mengamalkan ilmunya, maka Alaah swt akan membuka baginya ilmu yang belum diketahui sebelumnya."

Tapi perlu disadari bahwa ilmu tidak akan bermanfaat jika tidak diamalkan dengan penuh keikhlasan.

2. Mewakafkan Al Qur'an

Sebenarnya, dalam agama Islam sudah dijelaskan bagaimana cara mendapatkan pahala meski keadaan kita tidak lagi memungkinkan untuk meraih pahala dari berbagai amalan atau ibadah. Yaitu dengan melaksanakan amal jariyah, yang salah satunya adalah mewakafkan al Qur'an di masjid-masjid, lembaga pendidikan atau kepada mereka yang istiqomah membacanya.

3. Berinfak dengan Kitab atau Buku 

Menginfakkan buku yang telah dibaca tau dikuasai merupakan salah satu bentuk aplikasi dari pengalaman ilmu (pengetahuan). Selain itu juga berpotensi mendulang pahala sampai akhir zaman. Pendapat ini sejalan dengan ulama besar Islam Imam Suyuti sebagai berikut:

"Ada 10 amal yang pahalanya mengalir terus menerus, yaitu 1) ilmu yang bermanfaat, 2) anak shalih yang mendoakan orang tuanya, 3) sedekah jariyah (wakaf) 4) menanam pohon kurma atau pohon-pohon yang buahnya bisa dimanfaatkan, 5) mewakafkan buku, kitab, atau al Qur'an 6) berjuang dan membela tanah air, 7) membuat sumur, 8) membuat irigasi, 9) membangun tempat penginapan bagi para musafir, 10) membangun tempat ibadah dan belajar."

4. Membimbing Seseorang Pada Kebajikan

Seorang muslim yang berakal memiliki kewajiban untuk membimbing muslim lainnya kepada kebajikan, agar mereka terselamatkan dari kebatilan dan kesesatan. Allah Swt berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 104:

"Dan, hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung."

Allah Swt menutup ayat ini dengan kabar gembira bagi orang yang melaksanakan anjurannya, yaitu akan mendapatkan keberuntungan yang langsung diberikan oleh Allah Swt. Nabi muhammad Saw pun memberikan apresiasi yang sangat besar seperti terlihat dalam sabdanya sebagai berikut:

"Barang siapa yang mengajak kepada petunjuk (kebaikan), nescaya untuknya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, hal ini tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun" (HR. Muslim)

5. Membiayai Pendidikan Orang Lain

Pada masa Rasulullah Saw, sebagian umat Islam diminta untuk menuntut ilmu, meski pada waktu sering terjadi peperangan melawan kaum Jahiliyah yang membangkang dan memberontak denga cara kekerasan.

Dengan sangat tegas dalam QS. At Taubah ayat 122 Allah SWT memerintahkan hamba-hambaNya untuk terus menuntut ilmu,

"Tidak sepatutnya bagi mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka, beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberikan peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya."

Dalam ayat tersebut menuntut ilmu setara denga berjihad di jalan Alah SWT. Hal ini juga dapat dipertegas dengan sabda Nabi Muhammad SAW, sebagai berikut:

"Barang siapa yang keluar (dari rumahnya) untuk menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah SWT sampai ia kembali (ke rumahnya)." HR. Tirmidzi

Sebagaimana kita ketahui pada zaman ini, sesuatu tidak ada yang gratis. Kebutuhan pokok seperti makan dan tempat tinggal pun terkadang sangat sulit untuk mereka cukupi. Jangankan untuk memikirkan pendidikan, untuk mencukupi makan saja tidak terpenuhi. Oleh karena itu anjuran bagi orang yang Allah SWT titipkan rejeki lebih padanya, mengulurkan tangan untuk memudahkan jalan mereka yang kurang mampu untuk tetap mendapatkan pendidikan yang cukup.
Membiayai pendidikan orang lain sungguh merupakan ladang investasi di jalan Allah SWT yang tidak akan berhenti untuk menghasilkan keuntungan bagi kita.

6. Mencintai Allah dah RasulNya

Allah Swt berfirman dalam QS. al Imran ayat 31,

"Katakanlah, 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah SWT., ikutilah Aku, niscaya Allah SWT mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Kalimat "Ikutilah aku" tersebut mempertegas kepada seluruh hambaNya yang menyatakan cinta kepadaNya dan RasulNya.

Rasa cinta tidak sebatas mulut saja, tetapi rasa cinta itu akan tergambar dalam setiap gerak-geriknya. Begitu pula dengan rasa cinta yang dicurahkan kepada Allah SWT dan RasulNya. Ajaran dan anjuran dari yang kecil sampai yang terbesar akan selalu dilaksanakan dan dipatuhinya.

7. Mencintai Saudara Karena Allah

"Jika seseorang mencintai saudaranya, maka hendaknya ia mengungkapkan kepadanya bahwa ia mencintainya." (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Bukhari)

Ternyata mencintai saudara seiman merupakan salah satu syarat kesempurnaan iman seseorang. Sebab, secara nalar sehat, setiap orang yang mencintai saudaranya seiman pasti akan mencintai dirinya sendiri. Rasulullah SAW telah menjelaskan tentang sempurnanya iman seseorang karena mencintai saudaranya, karena Alllah SWT melebihi cintanya kepada dirinya sendiri. Rasullullah SAW bersabda:

"Barang siapa yang mencintai karena Allah SWT, membenci karenaNya, memberi karenaNya dan tidak memberi karenaNya, berarti ia telah menyempurnakan imannya." (Shahih al-Jami')

8. Menyempurnakan Kebutuhan Orang Muslim

Rasulullah Saw bersabda, "Orang Islam itu adalah saudara orang Islam lainnya, ia tidak boleh berbuat aniaya kepada saudaranya, tidak boleh membiarkan (kalau saudaranya sedang mengalami kesusahan atau kekurangan). Barang siapa berusaha memenuhi kebutuha saudaranya (seagama), Allah SWT pasti akan memenuhi kebutuhannya. Dan, barang siapa menghilangkan kesusahan orang lai, tentu Allah SWT akan menghilangkan kesusahan darinya sebabkeresahan-keresahan yang terjadi pada hari kiamat. Barang siapa menutupi cela orang Islam lain, niscaya Allah SWT bakal menutupi celanya nanti pada hari kiamat." (HR. Bukhari)

Hadist tersebut menerangkan tentang ketidakpantasan seorang muslim membiarkan saudara seiman berada dalam kesulitan. Lalu, apa yang akan didapat apabila kita memenuhi kebutuhan saudara kita seiman?. Rasulullah SAW bersabda:

"Dari Abu Hurairah Ra, Nabi SAW bersabda, 'Barang siapa menghilangkan satu diantara beberapa kesulitan dunia yang diderita oleh seorang mukmin, Allah SWT akan menghilangkan satu diantara beberapa kesulitan akhirat yang dideritanya. Barang siapa memudahkan orang yang sedang berada dalam kesusahan, Allah SWT akan memudahkan baik di dunia maupun di akhirat." (HR Muslim).

Jadi, menyempurnakan kebutuhan orag lain merupakan salah satu jalan bagi kita untuk mengumpulkan pundi-pundi pahala meski raga ini tak lagi mampu berbuat apa-apa.

9. Menanggung atau Menyumbang Pembangunan Masjid

Firman Allah SWT dalam QS. al Hadiid ayat 11-12

"Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah SWT pinjaman yang baik, maka Allah SWT akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak. (Yaitu pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar dihadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada mereka), 'Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar."

Sejak masa Nabi Muhammda SAW, masjid tidak hanya dijadikan sebagai tempat peribadatan, tetapi juga sebagai sentral dari semua hiruk pikuk, kegiatan dan interaksi di antara mereka. Membangun atau menyumbang pembangunan masjid sudah dapat dipastikan merupakan salah satu amalan yang sangat mulia.

Dalam ayat tadi, Allah SWT memberikan sentilan bagi kita semua. Allah SWT ,melontarkan perintahNya dengan kata "pinjaman", padahal sebagaimana yang kita ketahui bahwa apa yang kita miliki sekarang adalah pinjaman dariNya, yang kelak harus dipertanggungjawabkan dihadapanNya.

10. Membersihkan Masjid
11. Menebarkan Kasih Sayang
12. Selalu Berbuat Baik
13. Selalu Berbuat Adil
14. Menyebarkan Kebaikan.
15. Menyedekahkan Harta Yang Halal
16. Bersilaturahim Dengan Baik

17. Berusaha Menutupi Kejelekan (Aib) Orang Lain

Mengumbar aib orang lain merupakan perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah SWT dan Rasulullah Saw. Dalam Al Qur'an dijelaskan:

"Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui." (Q.S An Nuur ayat 19)

Diriwayatkan oleh Muslim bahwa Rasullullah SAW bersabda, "Seseorang yang menyembunyikan rahasia orang lain di dunia, maka pada hari kiamat Allah SWT pasti akan menyembunyikan rahasianya."

Menjaga atau merahasiakan aib adalah salah satu cara untuk berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain agar hubungan tersebut selalu berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan permusuhan. Bagi orang yang mampu melakukannya seperti diungkapkan dalam hadist diatas, Allah SWT akan menjaganya dari kejelekan dan aib yang memalukan.

18. Membantu Pengobatan Orang Sakit
19. Membantu Orang Yang Membutuhkan.
20. Mendamaikan Dua Belah Pihak Yang Berselisih
21. Menolong Orang Yang Membutuhkan
22. Memberi Pakaian Yang Layak
23. Memberi Pinjaman Untuk Kebaikan Dengan Ikhlas
24. Meringankan Utang Orang Yang Tidak Mampu
25. Membela Tanah Air
26. Membuat dan Melapangkan Jalan Umum
27. Memberi Kenyamanan Bagi Para Pengguna Jalan

28. Mengalirkan Saluran Air

"Barang siapa yang bisa memberikan manfaat kepada saudaranya, maka hendaklah ia melakukannya" (HR. Muslim)

Rasulullah Saw bersabda, "Ada tujuh (amalan) yang pahalanya tetap mengalir kepada sang pelaku walaupun ia telah di dalam kuburan setelah kematiaannya, yaitu orang yang mengajarkan ilmu, mengalirkan sungai, menggali sumur, menanam tanaman, membangun masjid, mewariskan mushaf, meninggalkan anak yang memintakan (mendoakan) ampun untuknya sesudah kematiannya." (Shahih Jami')

Pertanyaannya, mengapa mengalirkan air termasuk ke dalam amal jariyah yang pahalanya terus mengalir kepada si pelaku layaknya air yang sedang mengaliri ladang atau sawah?
Dalam dunia pertanian, air adalah komponen pokok yang harus dipenuhi. Tanaman yang ditanam tidak akan hidup tanpa adanya air. Hal ini sudah menjadi sunnatullah. Seseorang yang membuat irigasi air di sawah sangat membantu petani dalam menggarap sawahnya. Terlepas dari faktor lainnya dengan adanya air, tanaman yang ditanam akan tumbuh dengan subur sesuai dengan yang diharapkan. Setelah tanaman itu tumbuh, petani pasti menghasilkan panen yang banyak dan ini sudah pasti akan membantu kehidupan keluarganya.

29. Membuat Sumur
30. Menanam Pohon(Bercocok Tanam)

Rasulullah Saw bersabda, "Tak ada seorang muslim yang menanam pohon atau menanam tanaman, lalu burung memakannya atau manusia atau hewan, kecuali ia akan mendapatkan sedekah karenanya." (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain , Rasulullah SAW mempertegas hadist tersebut dengan sabdanya:

Kebanyakan pohon yang berakar besar biasanya memiliki usia yang lebih panjang. Oleh karena itu penanam pohon tidak akan berhenti menuai buahnya yang berupa pahala yang telah dijanjikan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW dengan menanam pohon, alam terlindungi, pahala menghampiri. Karena itu mari kita berlomba-lomba menlindungi alam dan meraih pahala dari Allah SWT meski mata telah memejam selamanya.

31. Menafkahi Keluarga
32. Bersenggama karena Allah SWT
33. Hamil, Melahirkan dan Menyusui
34. Melimpahkan Kasih Sayang Pada Anak
35. Mendidik Anak Dengan Baik 

By : Haris Suroto SGL

Kamis, 05 November 2015

ARAH PERUBAHAN HIDUP


Perubahan ada kalanya positif dan ada kalanya negatif. Karena perubahan itu berarti beralih dari satu kondisi ke kondisi lain dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dengan demikian, ada kalannya perubahan diri itu bersifat positif, yaitu perubahan dari jelek menjadi baik, atau dari baik menjadi lebih baik, sehingga hasilnya pun positif.
Dan ada kalanya juga perubahan itu bersifat negatif, dimana manusia mengubah diri dari lebih baik menjadi baik, sehingga hasilnya adalah baik dan terkadang manusia mengubah diri dari baik menjadi jelek, sehingga kondisi mereka menjadi jelek.
Kami menyimpulkan dari firman Allah, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d : 11)
Jadi, seperti yang kita tahu, perubahan adalah peralihan dari satu kondisi ke kondisi lain, dari satu tatanan ke tatanan lain, dari satu sifat ke sifat lain, baik positif atau negatif.
Semua tergantung pada diri kita masing-masing kemana arah perubahan itu akan kita ambil atau bawa. karena Allah SWT hanya mengikuti dan mengabulkan apa yang menjadi tujuan hidup manusia.
Tentunya kita sebagai seorang muslim akan lebih memilih untuk melakukan perubahan menuju kearah hidup yang lebih baik, arah Hidup yang diRidhoi Allah SWT, arah Hidup yang mendapatkan BarokahNya, arah Hidup yang membawa kita berada pada Sisi-Nya yaitu Surga-Nya Allah SWT.
Jika kita ingin melangkah untuk menuju kearah kualitas hidup yang lebih baik, seyogyanya terlebih dahulu diiringi dengan lafal "Lillahita'alla" (Ikhlas hanya karena Allah) dan kesungguhan hati, guna mencari RidhoNya agar senantiasa menggemgam dan menuntun kita selalu berada dijalan-Nya.
sumber : Haris Suroto SGL 

Rabu, 08 April 2015

Cara Rosul Menyayangi Istrinya Aisyah

Siapa tidak mendamba pasangan setia dan selalu mesra? Siapa pula tidak jengah hidup dengan pasangan yang durhaka lagi gampang marah? Faktanya, menjadi pasangan setia dan mesra sungguh tidak mudah.

Alangkah baik kita menjadikan rumah tangga Rasulullah sebagai teladan utama. Inilah potret rumah tangga yang diliput berkah dan bertabur cinta. Panutan umat sejagat ini adalah sosok suami yang pandai mengistimewakan istri.

Beliau biasa memanggil Aisyah dengan sebutan Humaira, yang kemerah-merahan pipinya. Kadang juga Aisy, yang dalam budaya Arab, pemenggalan huruf terakhir dari nama itu menunjukan panggilan manja sebagai tanda sayang. Tidak ada wanita yang tidak tersanjung dipanggil demikian oleh suaminya.

Di tengah kesibukan mengurus umat, Rasulullah juga mampu menjaga keintiman bersama istri. Perhatikan penuturan Aisyah berikut. “Aku pernah mandi janabat bersama Rasulullah dengan satu tempat air. Tangan kami bergantian mengambil air.” (HR Bukhari dan Muslim). Rasulullah juga pernah minum di gelas yang digunakan Aisyah. Beliau pernah makan daging yang sudah digigit Aisyah (HR Muslim).

Kemesraan bahkan tetap dilakukan Rasulullah ketika istri sedang dalam keadaan haid. Simak penuturan Ummu Salamah. “Ketika aku rebahan bersama Rasulullah di lantai, tiba-tiba aku haid. Aku keluar mengambil pakaian haidku. Beliau bertanya, ‘Mengapa kamu, apakah kamu haid?’ Aku menjawab, ‘Ya’. Beliau lalu memanggilku, dan aku tidur bersama beliau di lantai yang rendah.”

Rasulullah memang begitu memuliakan istri. Boleh jadi sebagian suami lebih nyaman keluar rumah bersama rekan, meninggalkan istri di rumah. Perhatikan sikap Rasulullah, sebagaimana kesaksian Aisyah. “Ketika hendak melakukan sebuah perjalanan, Nabi biasa membuat undian di antara para istri beliau. Siapa yang namanya keluar undian, dialah yang ikut pergi bersama Rasulullah.” (HR Bukhari dan Muslim).

Demikian pula ketika beliau menyaksikan hiburan. Aisyah berkisah, “Pada suatu hari, orang-orang berkulit hitam mempertontonkan permainan perisai dan lembing. Aku tidak ingat apakah aku yang meminta atau Nabi sendiri yang berkata padaku, apakah aku ingin melihatnya. Aku menjawab, ‘Ya.’ Lalu beliau menyuruhku berdiri di belakang beliau. Pipiku menempel ke pipi beliau. Beliau berkata, ‘Teruskan permainan kalian, Wahai Bani Arfidah (julukan orang Habasyah)!’ Hingga ketika aku merasa bosan, beliau bertanya, ‘Apakah kamu sudah puas?’Aku menjawab, ‘Ya.’ Beliau lalu berkata, ‘Kalau begitu, pergilah!’.” (HR Bukhari dan Muslim).

Itulah sosok suami sejati. Kendati demikian, sebagai manusia normal, tentu saja rumah tangga Rasulullah tidak bebas dari konflik. Perselisihan dalam rumah tangga adalah bumbu cinta. Namun, ketika berselisih, Rasulullah tidak pernah melibatkan emosi. Ketika sedang marah kepada Aisyah, beliau berkata, “Tutuplah matamu!” Kemudian Aisyah menutup matanya dengan perasaan cemas, khawatir dimarahi Rasulullah. Nabi berkata, “Mendekatlah!” Tatkala Aisyah mendekat, Rasulullah kemudian memeluk Aisyah sambil berkata, “Humairahku, telah pergi marahku setelah memelukmu.”

Tidak pernah ada kalimat kasar dan menyakitkan dalam rumah tangga Rasulullah. Bahkan, beliau biasa memijit hidung Aisyah jika dia marah, sambil berkata, “Wahai Aisyah, bacalah do’a, ‘Wahai Tuhanku, Tuhan Muhammad, ampunilah dosa-dosaku, hilangkanlah kekerasan hatiku, dan lindungilah diriku dari fitnah yang menyesatkan’.” (HR Ibnu Sunni).

Semua kita pasti berharap memiliki rumah tangga yang sakinah dan penuh berkah. Rasulullah telah mengajarkan suami bagaimana memuliakan istri. Seperti sabda beliau, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Lelaki yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Hibban).

Selasa, 28 Oktober 2014

PUASA pada 10 Muharram


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah (bulan) Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib (lima waktu) adalah shalat malam.“.

Hikmah dari hadits diatas:
  • Puasa yang paling utama dilakukan pada bulan Muharram adalah puasa ‘Aasyuura’ (puasa pada tanggal 10 Muharram), karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dan memerintahkan para sahabat radhiyallahu ‘anhum untuk melakukannya, dan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang keutamaannya beliau bersabda,
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
Puasa ini menggugurkan (dosa-dosa) di tahun yang lalu“.
  • Lebih utama lagi jika puasa tanggal 10 Muharram digandengankan dengan puasa tanggal 9 Muharram, dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi dan Nashrani, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika disampaikan kepada beliau bahwa tanggal 10 Muharram adalah hari yang diagungkan orang-orang Yahudi dan Nashrani, maka beliau bersabda,
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ
Kalau aku masih hidup tahun depan, maka sungguh aku akan berpuasa pada tanggal 9 Muharram (bersama 10 Muharram).
  • Adapun hadits,
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْماً أَوْ بَعْدَهُ يَوْماً
Berpuasalah pada hari ‘Aasyuura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.“, maka hadits ini lemah sanadnya dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran dianjurkannya berpuasa pada tanggal 11 Muharram.
  • Sebagian ulama ada yang berpendapat di-makruh-kannya (tidak disukainya) berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, karena menyerupai orang-orang Yahudi, tapi ulama lain membolehkannya meskipun pahalanya tidak sesempurna jika digandengkan dengan puasa sehari sebelumnya

  • Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan puasa tanggal 10 Muharram adalah karena pada hari itulah Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Musa álaihis salam dan umatnya, serta menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya, maka Nabi  Musa ‘alaihis salam pun berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur kepada-Nya, dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu karena alasan ini, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ
Kita lebih berhak (untuk mengikuti) Nabi Musa ‘alaihis salam daripada mereka“. Kemudian untuk menyelisihi perbuatan orang-orang Yahudi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk berpuasa tanggal 9 dan 10 Muharram.


Selasa, 21 Oktober 2014

IKHLAS (Makna dan Kedudukannya)



Jika ada kader dakwah merasakan kekeringan ruhiyah, kegersangan ukhuwah, kekerasan hati, hasad, perselisihan, friksi, dan perbedaan pendapat yang mengarah ke permusuhan, berarti ada masalah besar dalam tubuh mereka. Dan itu tidak boleh dibiarkan. Butuh solusi tepat dan segera.
Jika merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan menemukan pangkal masalahnya, yaitu hati yang rusak karena kecenderungan pada syahwat. “Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Al-Hajj: 46).
Rasulullah saw. bersabda, “Ingatlah bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka seluruh tubuhnya baik; dan jika buruk maka seluruhnya buruk. Ingatlah bahwa segumpul daging itu adalah hati.” (Muttafaqun ‘alaihi). Imam Al-Ghazali pernah ditanya, “Apa mungkin para ulama (para dai) saling berselisih?” Ia menjawab,” Mereka akan berselisih jika masuk pada kepentingan dunia.”
Karena itu, pengobatan hati harus lebih diprioritaskan dari pengobatan fisik. Hati adalah pangkal segala kebaikan dan keburukan. Dan obat hati yang paling mujarab hanya ada dalam satu kata ini: ikhlas.

Kedudukan Ikhlas
Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seseorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”
Tatkala Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.” Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”
Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang paling benar). Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga, amal itu harus ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dan benar jika dilakukan sesuai sunnah.” Pendapat Fudhail ini disandarkan pada firman Allah swt. di surat Al-Kahfi ayat 110.
Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”
Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”

Makna Ikhlas
Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.
Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.
Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.
Karena itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.” Dai yang berkarakter seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu Ghayaatunaa‘, Allah tujuan kami, dalam segala aktivitas mengisi hidupnya.

Buruknya Riya
Makna riya adalah seorang muslim memperlihatkan amalnya pada manusia dengan harapan mendapat posisi, kedudukan, pujian, dan segala bentuk keduniaan lainnya. Riya merupakan sifat atau ciri khas orang-orang munafik. Disebutkan dalam surat An-Nisaa ayat 142, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat itu) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”
Riya juga merupakan salah satu cabang dari kemusyrikan. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti pada kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Riya. Allah berkata di hari kiamat ketika membalas amal-amal hamba-Nya, ‘Pergilah pada yang kamu berbuat riya di dunia dan perhatikanlah, apakah kamu mendapatkan balasannya?'” (HR Ahmad).
Dan orang yang berbuat riya pasti mendapat hukuman dari Allah swt. Orang-orang yang telah melakukan amal-amal terbaik, apakah itu mujahid, ustadz, dan orang yang senantiasa berinfak, semuanya diseret ke neraka karena amal mereka tidak ikhlas kepada Allah. Kata Rasulullah saw., “Siapa yang menuntut ilmu, dan tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan perhiasan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan wangi-wangi surga di hari akhir.” (HR Abu Dawud)

Ciri Orang Yang Ikhlas
Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri yang bisa dilihat, diantaranya:
1. Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”
Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad.
Al-Qur’an telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam cirinya. Di antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”
2. Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)
Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.
3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.
Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu mereka senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.
Sumber : http://www.dahwatuna.com