Ketahuilah wahai sauadaraku se-Islam -mudah-mudahan Allah memberikan
pemahaman agama kepada kita- bahwasanya mengqdha’ puasa Ramadhan tidak
wajib dilakukan segera, kewajibannya dengan jangka waktu yang luas
berdasarkan satu riwayat dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha (yang
artinya) : “Aku punya hutang puasa Ramadhan dan tiak bisa mengqadha’nya
kecuali di bulan Sya’ban” [Hadits Riwayat Bukhari 4/166, Muslim 1146,
Dikatakan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah hal.422. setelah
membawakan hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Muslim bahwasanya
beliau (yakni Aisyah) tidak mampu dan tidak dapat mengqadha' pada bulan
sebelum Sya'ban, dan hal ini menunjukkan bahwa beliau kalaulah mampu
niscaya dia tidak akan mengahhirkan qadha' (sampai pada ucapan Syaikh)
maka menjadi tersamar atasnya bahwa ketidakmampuan Aisyah adalah
merupakan udzur (alasan) Maka perhatikanlah, -pent]
Berkata Al-Hafidz di dalam Al-Fath 4/191 : “Dalam hadits ini sebagai
dalil atas bolehnya mengakhirkan qadha’ Ramadhan secara mutlak, baik
karena udzur ataupun tidak”.
Sudah diketahui dengan jelas bahwa bersegera dalam mengqadha’ lebih
baik daripada mengakhirkannya, karena masuk dalam keumuman dalil yang
menunjukkan untuk bersegera dalam berbuat baik dan tidak menunda-nunda,
hal ini didasarkan ayat dalam Al-Qur’an (yang artinya) : “Bersegeralah
kalian untuk mendapatkan ampunan dari Rabb kalian” [Ali Imran : 133]
Firman ALLAH (yang artinya) : “Mereka itu bersegera untuk mendapat
kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya”
[Al-Mu'minuun : 61]
2. Tidak wajib berturut-turut dalam mengqadha’ karena ingin menyamakan dengan sifat penunaiannya.
Berdasarkan firman Allah pada surah Al-Baqarah ayat 185 (yang
artinya) : “Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”.
Dan Ibnu Abbas berkata : (yang artinya) : “Tidak mengapa
dipisah-pisah (tidak berturut-turut)” [Dibawakan oleh Bukhari secara
mu'allaq, dimashulkan oleh Abdur Razak, Daruquthni, Ibnu Abi Syaibah
dengan sanad Shahih. Lihat Ta’ghliqut Ta’liq (3/186).
Abu Hurairah berkata : "Diselang-selingi kalau mau" [Lihat Irwaul Ghalil 4/95]
Adapun yang diriwayatkan Al-Baihaqi 4/259, Daruquthni 2/191-192 dari
jalan Abdurrahman bin Ibrahim dari Al’Ala bin Abdurrahman dari bapaknya
dan Abu Hurairah secara marfu’ “Artnya : Barangsiapa yang punya hutang
puasa Ramadhan, hendaknya diqadha’ secara berturut-turut tidak boleh
memisahnya” Ini adalah riwayat yang Dhaif. Daruquthni bekata :
Abdurrahman bin Ibrahim Dhaif.
Al-Baihaqi berkata : Dia (Abdurrahman bin Ibrahim) di dhaifkan oleh Ma’in, Nasa’i dan Daruquthni”.
Ibnu Hajar menukilkan dalam Talkhisul Habir 2/206 dari Abi Hatim bahwa beliau mengingkari hadits ini karena Abdurrahman.
Syaikh kami Al-Albany Rahimahullah telah membuat penjelasan dhaifnya
hadits ini dalam Irwa’ul Ghalil no. 943. Adapun yang terdapat dalam
Silsilah Hadits Dhaif 2/137 yang terkesan bahwa beliau menghasankannya
dia ruju’ dari pendapatnya.
Peringatan.
Kesimpulannya, tidak ada satupun hadits yang marfu’ dan shahih -menurut
pengetahuan kami- yang mejelaskan keharusan memisahkan atau secara
berturut-turut dalam mengqadha’, namun yang lebih mendekati kebenaran
dan mudah (dan tidak memberatkan kaum muslimin, -ed) adalah dibolehkan
kedua-duanya. Demikian pendapatnya Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal
Rahimahullah. Abu Dawud berkata dalam Al-Masail-nya hal. 95 : “Aku
mendengar Imam Ahmad ditanya tentang qadha’ Ramadhan” Beliau menjawab :
“Kalau mau boleh dipisah, kalau mau boleh juga berturut-turut”. Wallahu
‘alam.
Oleh karena itu dibolehkannya memisahkan tidak menafikan dibolehkannya secara berturut-turut.
3. Ulama telah sepakat bahwa barangsiapa yang wafat dan punya hutang
shalat, maka walinya apalagi orang lain tidak bisa mengqadha’nya.
Begitu pula orang yang tidak mampu puasa, tidak boleh dipuasakan oleh
anaknya selama dia hidup, tapi dia harus mengeluarkan makanan setiap
harinya untuk seorang miskin, sebagaimana yang dilakukan Anas dalam satu
atsar yang kami bawakan tadi.
Namun barangsiapa yang wafat dalam keadaan mempunyai hutang nadzar
puasa, harus dipuasakan oleh walinya berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Barangsiapa yang wafat dan mempunyai hutang puasa nadzar hendaknya diganti oleh walinya” [Bukhari 4/168, Muslim 1147]
Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata : “Datang
seseorang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian
berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat dan dia punya hutang
puasa setahun, apakah aku harus membayarnya?” Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya, hutang kepada Allah lebih berhak untuk
dibayar” [Bukhari 4/168, Muslim 1148]
Hadits-hadits umum ini menegaskan disyariatkannya seorang wali untuk
puasa (mempuasakan) mayit dengan seluruh macam puasa, demikian pendapat
sebagian Syafi’iyah dan madzhabnya Ibnu Hazm (7/2,8).
Tetapi hadits-hadits umum ini dikhususkan, seorang wali tidak puasa
untuk mayit kecuali dalam puasa nadzar, demikian pendapat Imam Ahmad
seperti yang terdapat dalam Masa’il Imam Ahmad riwayat Abu Dawud hal. 96
dia berkata : Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata : “Tidak berpuasa
atas mayit kecuali puasa nadzar”. Abu Dawud berkata, “Puasa Ramadhan ?”.
Beliau menjawab, “Memberi makan”.
Inilah yang menenangkan jiwa, melapangkan dan mendinginkan hati,
dikuatkan pula oleh pemahaman dalil karena memakai seluruh hadits yang
ada tanpa menolak satu haditspun dengan pemahaman yang selamat khususnya
hadits yang pertama. Aisyah tidak memahami hadits-hadits tersebut
secara mutlak yang mencakup puasa Ramadhan dan lainnya, tetapi dia
berpendapat untuk memberi makan (fidyah) sebagai pengganti orang yang
tidak puasa Ramadhan, padahal beliau adalah perawi hadits tersebut,
dengan dalil riwayat ‘Ammarah bahwasanya ibunya wafat dan punya hutang
puasa Ramadhan kemudian dia berkata kepada Aisyah : “Apakah aku harus
mengqadha’ puasanya ?” Aisyah menjawab : “Tidak, tetapi bersedekahlah
untuknya, setiap harinya setengah gantang untuk setiap muslim”.
Diriwayatkan Thahawi dalam Musykilat Atsar 3/142, Ibnu Hazm dalam
Al-Muhalla 7/4, ini lafadz dalam Al-Muhalla, dengan sanad sahih.
Sudah disepakati bahwa rawi hadits lebih tahu makna riwayat hadits
yang ia riwayatkan. Yang berpendapat seperti ini pula adalah Hibrul
Ummah Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : “Jika salah
seorang dari kalian sakit di bulan Ramadhan kemudian wafat sebelum
sempat puasa, dibayarkan fidyah dan tidak perlu qadha’, kalau punya
hutang nadzar diqadha’ oleh walinya” Diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad
shahih dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/7, beliau menshahihkan
sanadnya.
Sudah maklum bahwa Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma adalah periwayatan
hadits kedua, lebih khusus lagi beliau adalah perawi hadits yang
menegaskan bahwa wali berpuasa untuk mayit puasa nadzar. Sa’ad bin
Ubadah minta fatwa kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ” Ibuku
wafat dan beliau punya hutang puasa nadzar?” Beliau bersabda :
“Qadha’lah untuknya”. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta
lainnya.
Perincian seperti ini sesuai dengan kaidah ushul syari’at sebagaimana
dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqi’in dan ditambahkan
lagi penjelasannya dalam Tahdzibu Sunan Abi Dawud 3/279-282. (Wajib)
atasmu untuk membacanya karena sangat penting. Barangsiapa yang wafat
dan punya hutang puasa nadzar dibolehkan diqadha’ oleh beberapa orang
sesuai dengan jumlah hutangnya.
Al-Hasan berkata : “Kalau yang mempuasakannya tiga puluh orang
seorangnya berpuasa satu hari diperbolehkan”[Bukhari 4/112 secara
mu'allaq, dimaushulkan oleh Daruquthni dalam Kitabul Mudabbij,
dishahihkan sanadnya oleh Syaikhuna Al-Albany dalam Mukhtashar Shahih
Bukhari 1/58] Diperbolehkan juga memberi makan kalau walinya
mengumpulkan orang miskin sesuai dengan hutangnya, kemudian
mengenyangkan mereka, demikian perbuatan Anas bin Malik Radhiyallahu
‘anhu.
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii
Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan
Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H.
Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh
terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata.
Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly
Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya.
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=320
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=320
Tidak ada komentar:
Posting Komentar